Image : koleksi pribadi
Setiap keluarga menginginkan rumah impian bukan? Pun demikian aku. Masih ku ingat perjalanan panjang pencapaian kami dalam membangun sebuah rumah, bukan impian. Yah, jarang ada yang punya rumah impian di kawasan perumahan subsidi yang terbilang sempit dan padat. Semua menginginkan rumah dengan halaman yang lega dan rumah yang luas. Tapi apa daya tabungan tidak mendukung.
Awal pernikahan tahun 2008. Kami mengontrak sebuah rumah selama enam bulan dengan sisa uang resepsi pernikahan. Rumah yang nyaman dua kamar dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang luas. Juga dapur yang tak kalah luas. Di sana aku membangun jati diri sebagai istri dari seorang guru honorer.
Pagi kuantar suami sampai pagar. Menyalaminya, lalu dia berangkat dengan motor bebeknya. Dengan uang seadanya aku mempersiapkan makan siang untuk suamiku. Rumah itu jadi saksi kemanisan dari cita-cita pernikahan. Seperti kebanyakan gadis. Tak muluk-muluk mimpinya, begitupun aku. Mengantar suami sampai pintu dan masak kesukaan suami. Layaknya sinetron yang disajikan di televisi. Manis, tapi rumah tangga itu bahtera yang berjalan di atas gelombang pasang dan surut.
Demi menyesuaikan isi dompet, enam bulan kemudian kami pindah ke rumah yang lebih kecil, petak tiga, di pinggir sungai. Suara deru air dan katak menjadi nyanyian malam menemani malam-malam kami tanpa suara bayi. Sudah ada bonus bocor saat hujan atau ular yang tiba-tiba masuk kamar.
Menunggu jabang bayi yang belum ada tanda-tandanya. Suami nekad mengirimkan lamaran ke sekolah untukku. Katanya sayang kalau ilmuku tak bermanfaat. Aku mau, mau sekali malah jadi guru saat itu. Tanpa ijazah S1 berbekal transkip nilai empat semester aku di terima di sebuah SMK dengan honor sepuluh ribu per jam.
Pikirku jika aku mengajar 20 jam setiap minggunya maka delapan ratus ribu aku terima bersih setiap bulannya. Sedang transport diberikan hari itu juga setelah selesai mengajar. Sampai waktunya memanen lelahku. Tanganku bergetar menatap haru uang hasilku mengajar. Bukan delapan ratus tapi dua ratus ribu.
"Kemana tiga minggunya kak?" Tanyaku pada suami tidak mengerti. Dia hanya tersenyum.
"Begitulah, De. Guru hanya digaji seminggu untuk sebulan kerja" selorohnya. Sungguh ini bukan lelucon pikirku. Aku teringat gaji terakhir menjadi karyawan tetap pada perusahaan otomotif di Karawang. Dua juta, belum lembur dan tunjangan lainnya saat itu.
"Tapi berkah" katanya melanjutkan.
Aku tersenyum. Ku cium gaji pertamaku.
Aku rela meninggalkan status karyawan tetapku bersama teman-teman seperjuangan di Karawang. Status yang kami dapatkan setelah demo hampir seminggu di luar pagar perusahaan. Demo karena kami bosan terus-menerus jadi sapi perah yayasan. Bidang kami bagian inti dari produksi tapi kami bertahun-tahun tetap jadi karyawan outsourcing.
Aku lepaskan setelah menikmati waktu sebagai karyawan tetap, sekaligus sekertaris serikat pekerja, yang seringnya meninggalkan pekerjaan demi untuk menuntut keadilan di meja sidang bersama bos besar. Suka duka itu aku lepas. Demi status baru menjadi seorang guru. Aku kembali pada cita-cita yang tertunda.
Kembali lagi, siapa yang tidak ingin mempunyai rumah. Saat itu pun kami begitu memimpikannya. Tapi uang dari mana untuk membeli tempat dan membangunnya. Mau nabung pun sulit. Untuk makan saja pas-pasan. Sampai suatu hari, yang membalikkan keadaan pun terjadi.
Ibu kontrakan menagih janji. Setiap bulan uang kontrakan harus dibayar tepat di muka sebelum kami menempati bulan selanjutnya. Masih ku ingat, permohonan kami saat itu. Meminta jeda, tak banyak satu minggu sampai tunjangan fungsional kami cair. Tapi ibu kontrakan tak bergeming. Maka ku lepas anting-anting kesayangan ke toko emas.
Kejadian itu menjadikanku sakit hati. Harus segera keluar dari kontrakan tidak beradab itu. Harga diri yang terluka menjadi cambuk bagi kami. Uang lima ratus ribu tunjangan fungsional selama tiga bulan kami jadikan tanda jadi sebuah perumahan subsidi. Kami harus punya rumah mesti harus sakit terseok membayar cicilan setiap bulannya. Daripada harus membayar rutin rumah orang yang tak akan termiliki. Begitu pikirku.
Dalam kondisi perut besar kami pindah ke rumah baru. Dua bulan kemudian putri kecil kami lahir dengan drama pendarahan yang berakhir operasi caesar. Genaplah kini, sepuluh tahun kami tempati rumah ini seusia putriku.
Kini, kehidupan berangsur membaik. Aku dan suami sudah cukup sejahtera dengan tunjangan sertifikasi dan penyetaraan inpasing suami. Walau belum sebesar PNS kami sangat bersyukur. Suami sudah menyelesaikan magisternya duluan, tinggal aku menyusul. Kendaraan roda empat sudah terparkir di depan rumah. Walau belum mewah tapi begitu wah buat kami karena perjuangannya.
Sebentar lagi putri kami SMP. Dia memilih pesantren untuk proses pendewasaannya kelak. Kami memilih membangun rumah impian baru untuk dia menepi dari rutinitasnya nanti. Sebuah rumah mungil yang menghadap perbukitan. Tidak sesak seperti sekarang.
Rumah dengan udara yang bersih dan sejuk jauh dari kepulan asap kendaraan dan pabrik. Rumah tempat kami kelak berkumpul dan berbagi cerita setelah lama terpisah. Rumah yang dengan niatnya, semoga bisa menghadirkan lagi bayi baru yang memberi kehangatan padanya.
Semoga yang membaca kisahku, mendapat jodoh yang baik, keturunan yang baik dan rezeki jalan yang berkah. Jangan khawatir dengan hitungan manusia. Allah punya kalkulatornya sendiri. Kita kadang melupakan, bahwa Allah Maha kaya. Kita malah sibuk mengira-ngira dengan hitungan manusia. Padahal Allah akan memberi lebih, kita yang meragukannya.
Posting Komentar
Posting Komentar