header Diary Jingga

Pahlawan Kemanusiaan

Posting Komentar
Sumber Foto : harianterbit.com

Oleh Vie 

"Bu, bagaimana anak saya? Apa dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik?" Sebuah pesan masuk dari  Mamanya Putri,  siswa perwalianku.

Heran, apa ibu ini tidak tidur? Pikirku.  Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Mungkin dia melihat statusku yang masih online karena harus menginput nilai pekerjaan anak yang semuanya ada di wall WhatsApp.

"Ehh iya, Ma Putri.  Kebetulan beberapa hari ini Putri jarang sekali hadir di WA group kelas Ma"

"Bagaimana ya Bu, saya jauh. Tidak bisa mengawasinya secara langsung."

Aku berpikir sejenak, jauh? Bukankah mereka serumah.

"Bu, apa saya bisa telepon? Maaf jika saya mengganggu malam-malam. Saya tak punya banyak waktu. Beberapa pesan dari ibu pun tak bisa saya jawab. Bahkan telepon ibu tak bisa saya angkat. Saya sibuk. Begitu sibuk sampai bernafas pun saya sulit"

'Deg' apa yang terjadi dengan mamanya putri ini.  Tanpa berpikir panjang ku sentuh gambar telepon untuk menghubunginya.

"Assalamualaikum, Mama putri apa kabar?" Tanyaku hati-hati

"Kabar buruk, Bu." Nadanya putus asa.
"Seminggu ini saya menginap di rumah sakit. Pihak manajemen tak mengizinkan kami untuk pulang. Khawatir anak-anak saya tertular. Saya tidak tahu apa selama bertugas saya terpapar atau tidak, ya kan?"

Astagfirullah, aku baru ingat kalau mamanya putri seorang perawat.

"Sabar ya, Ma" cuma itu kata yang terucap dari bibirku. Kelu. Aku tak bisa membayangkan dijauhkan dari anak. Jangankan seminggu, sehari saja gak akan kuat. Maka ku biarkan dia mengeluarkan gelisahnya.

"Sebelumnya saya masih bisa pulang, walau tengah malam dan mereka tertidur saat saya pulang. Tapi wajah-wajah mereka adalah penguat saya. Semangat saya untuk tetap berusaha sehat dan kuat demi mereka. Kini, saya sulit untuk komunikasi dengan mereka. Jangankan bertemu untuk sekedar video call saja saya tak ada waktu. Pasien datang silih berganti, setiap hari ada saja yang positif. Bahkan rekan saya sudah positif Bu." Tumpah sudah tangisnya.

Ingin rasanya ada di dekatnya memeluknya, menguatkannya bahwa badai ini pasti berlalu. Semua akan kembali baik-baik saja. Tapi pada kenyataannya aku tak bisa janjikan itu bukan? Aku hanya seorang guru yang menanti kapan bisa berkumpul lagi di kelas dengan anak-anak.

Dia, mama Putri seorang perawat. Mungkin lebih tahu dan bisa lebih memprediksinya. Dia jadi saksi korban berdatangan bahkan disemayamkan. Dia dan rekan-rekannya yang pontang-panting berjuang demi nyawa yang lain sedang nyawanya sendiri menjadi tak berharga. Belum selesai dengan itu semua. Mereka juga harus mengorbankan keluarganya, anak-anaknya dalam pembiaran berkepanjangan.

Dan kami guru, pekerjaan kami bukan hanya memberi tugas lalu selesai. Kami pendidik bukan hanya pengajar. Tugas kami menjaga mental, motivasi dan karakter siswa. Ini berat, lebih berat dari rindunya Dilan pada Milea. Kita harus mengurus 30 orang anak yang tercerai berai di berbagai rumah dengan arahan dan didikan yang berbeda-beda dari orangtuanya.

Ada yang stres karena orangtuanya terlalu menuntut. Ada yang kecanduan gawai karena dibiarkan orangtuanya. Ada yang frustrasi karena peran teman di sekolah tak dia temukan di rumah. Masa bermain dibatasi. Belajar yang tadinya seru karena bersama teman-temannya menjadi hal yang membosankan kini karena sendiri. Wejangan guru di gawai ibarat suara penyiar radio saja cuma penghibur sesaat.

Selepas itu akan kembali pada game yang memabukkan, penjelajahan internet bagai hutan rimba yang bisa saja menyesatkan mereka. Merusak otak mereka bahkan bisa saja membuat mereka gila.

Dimana orangtua? Tidak semua orangtua bisa hadir seratus persen dari pagi hingga malam. Mereka ada yang tak bisa bekerja di rumah dan itu jumlahnya lebih dari setengahnya. Mereka harus tetap ke pabrik, mereka harus tetap ke jalan mencari orderan karena dapur harus tetap ngebul. Mereka harus merawat oranglain dengan mengabaikan perawatan anaknya, seperti mama Putri.

pandemi ini tidak sederhana. Ini hal serius yang bukan hanya menyangkut diri kita sendiri. Mungkin kamu tak takut keluar lalu berkerumun diantara yang lainnya.  Kita kuat mungkin yang lain tidak. Jangan egois. Ada seseorang di sana yang bertaruh nyawa demi nyawa yang lain. Ada yang berkorban perasaan. Menahan sesak, pengap dan rasa takut. Kenapa kini kabar mereka seolah tenggelam. Se -tak- berharga itukah pengorbanan mereka?

Sampai ada yang bilang, itu sih resiko pekerjaan mereka. Mereka telah di sumpah. Lalu apa perlu sumpah serapah diucapkan pada kalian yang begitu egois dan tak berempati. Rasanya tak ada guna. Entah dengan cara apa membuat kalian mengerti. Betapa pentingnya #dirumahsaja betapa berharganya itu bagi mereka yang kalian anggap tak berharga.

Cicurug,  Mei 2020

(masa ketika daerah kami dan sekitarnya  diberlakukan PSBB)




Vie
I am a simple woman. Penyuka warna jingga. Seorang Ibu juga seorang pendidik yang menggandrungi dunia kepenulisan. Volunteer di Komunitas Guru Belajar (KGB) Sukabumi dan Komunitas Guru Madrasah Menulis

Related Posts

Posting Komentar