Oleh Vie
Sebulan sudah tidak bertemu dengan keluarga. Lagi-lagi alasan yang sama yaitu, di rumah saja. Pesan itu sangat mempengaruhiku. Mengingat betapa besarnya efek di rumah saja, sebagai upaya pencegahan meluasnya covid-19.
Saat pemerintah menerapkan sosial distancing selama 14 hari, maka tak ada pilihan lain. Apalagi sehari sebelumnya harus mengikuti kuliah perdana di Jakarta, yang sudah dinyatakan zona merah. Maka suatu kewajiban bagi saya untuk tetap di rumah selama 14 hari ke depan.
Ketika minggu pertama WFH (Work From Home) berlaku, Ibu menelepon. Beliau berharap agar kami berlibur di rumahnya. Dengan berat hati saya menolak. Tak lain karena rasa sayang yang menghalangi. Ibu dan Bapak sudah sepuh, saya khawatir membawa virus itu dari Jakarta. Akhirnya beliau mengerti.
Hari ini satu minggu sebelum Ramadhan. Hati mulai gelisah. Rindu dan rasa bersalah menyarang. Apalagi telepon Ibu susah dihubungi. Mencoba menyibukkan diri dengan segala aktifitas selama WFH.
Mengajar daring tak terlalu membuatku sibuk. Mulai ikut kelas menulis dan mencoba segala tantangannya. Kesibukan bertambah saat dosen keroyokan memberi tugas. Makalah, bahan presentasi dan review jurnal menjadi lika-liku selama masa kuliah daring berlangsung.
Setelah satu bulan di rumah saja, kami merasa sehat . Akhirnya ku putuskan untuk mengunjungi mereka. Dengan berbagai pertimbangan dan persiapan. Masker, hand sanitizer dan sekedar makanan ringan untuk di jalan. Semua protokol kesehatan selama covid-19 jadi rujukan. Suami menyetir, aku di tengah dan putri kami duduk di kursi paling belakang.
Jarak rumah ibu tak terlalu jauh. Suasana di sepanjang jalan tak seramai biasanya. Biasanya Cicurug – Cisaat butuh waktu sampai 2 jam perjalanan jika macet di Cibadak. Kurang dari satu jam kami sudah sampai.
Ku lihat kaca di mata itu. Mata kerinduan saat kaki menapak. Sabar bu, aku cuci tangan dulu dan ganti baju. Ahh, terlalu ribet memang, tapi harus. Rindu itu terjeda saat ingin berlabuh. Tergopoh-gopoh kaki renta itu menyusul suaminya. Dengan suka cita. Anak yang hilang telah pulang.
Bersih sudah ragaku. Pelukan itu tak ingin bersabar. Namun tak bisa berlabuh. Hanya hati kami yang bertemu. Duhai rindu begitu menyiksa. Padahal hanya satu bulan tak temu. Lain ibu, lain ayah. Di matanya bercerita banyak. Karena melalui kata sudah tak jelas. Intinya, jika sampai hari ini aku tak pulang, maka ayah yang akan menjelang datang.
Posting Komentar
Posting Komentar