Suara riuh tepuk tangan itu membuat
mata berkaca-kaca saat namaku disebut. Seakan semua mata tertuju padaku. Gegap
gempita ratusan orang seakan sedang melayangkan tubuhku ke udara, apalagi orang
nomor satu itu menyerahkan langsung penghargaan padaku . Ahhh ku buang segala jumawa, semua ini bukan karena aku hebat tapi karena
ada dia yang hadir dalam hidupku. Airmataku tak terasa menetes karena bahagia.
Dia yang mengajarkanku tentang bagaimana cara memaknai hati, tidak ada di sini. Namun,
selayaknya penghargaan ini untuknya.
Aku mendapatkan penghargaan atas
karya tulisku tentang pengalaman mengajar menangani anak berkebutuhan khusus. Tentang
dia yang mengajarkanku arti mencintai. Mencintai tanpa mengharap budi. Aku seorang
guru, sejak awal pertemuanku dengannya aku sudah ‘jatuh cinta’.
***
Ingatanku
menerawang jauh menyusuri sinopsis syaraf menuju memori otakku menyusup pada
kejadian yang tak akan pernah ku lupa. Tahun itu, aku merasa Tuhan telah
mengirimkan satu malaikat kecil padaku. Seorang siswa dengan hambatan
pendengaran sekaligus hambatan bicara hadir diantaraku, melalui dia aku belajar
tentang ketulusan hati. Segalanya begitu manis dalam ingatan dan berbalas hal yang sangat luar biasa kali ini.
Dengan segenap kemampuan dan keterbatasan ilmu aku beranikan diri untuk
menerima dia sebagai siswa di kelasku, di antara murid-murid lain yang normal.
Aku memulainya dengan hati, kemudian pergolakan itu dimulai.
Aku mulai terkuras emosi saat bersitatap pertama kali dengannya.
Kebingungan, ketidakberdayaan dan
ketakutan terpancar dimatanya. Dia tidak percaya pada teman-temannya pun
padaku. Segenap rasanya hanya bisa ia ungkapkan lewat tatap, karena dia tak
bisa menceritakannya. Siapa yang akan mengerti bahasanya dan bagaimana dia bisa
mendengar jawaban oranglain. Aku di buat memutar otak.
Senyumku mewakili perasaan hati ini.
Hari itu aku menatapnya penuh kasih sayang. Aku harap dia mengerti bahwa semua
akan baik-baik saja. Dia mendongak tak percaya. Aku kembali tersenyum dan
mengusap bahunya.
“ Ini teman kalian”
Saat
pertama kali aku perkenalkan dia di kelasku, aku memegang bahunya. Dia
menolak, memilih lari dan duduk di kursi
pojok ruang kelas. Kelas mulai riuh oleh berbagai komentar dan pertanyaan yang
ditujukan padaku.
“Murid baru yaa, Buu?”
“Kok ga mau kenalan sihh, Buu” susul
yang lain
“Kami kan ingin tahu namanya” Arya,
si ketua kelas ikut berkomentar
“Namanya
Faqih” jawabku
“Anggaplah ini adik kalian, dia sedikit
berbeda dengan kalian. Pendengarannya sedikit terhambat, jadi diapun tidak akan
jelas berkata”.
Semua
muridku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kita
sepakat bukan, kalau kelas kita adalah keluarga?” tanyaku melanjutkan
“Yaaahhhh buuuuu” jawab mereka
serempak.
Kulihat
dia semakin kebingungan, mungkin yang terdengar baginya hanya gaung yang tak
bermakna.
“Maka berbaik hatilah pada adik
kalian, bantu dia menyelesaikan tugas yang menurut kalian mudah, mungkin tidak
bagi dia” lanjutku
“Ibu
akan bertindak tegas siapa saja yang saling mengejek padanya atau pada siapapun
juga. Karena saudara itu mencinta bukan mencela. Mengerti Nak”
“Mengerti Buuuuu.....” jawab siswaku
kompak, kecuali dia tentunya.
Aku melemparkan senyum padanya
diikuti oleh murid-muridku. Dia belum tersenyum tapi matanya mulai berbinar.
Garis bibirnya samar membentuk lengkung kelegaan.
‘Yah,
semua akan baik-baik saja’ batinku, semoga pesanku sampai padanya.
Demi melihat binar mata itu, jika tidak malu di depan anak- anak, aku
mungkin sudah melompat kegirangan.
‘Satu
tahap sudah terlewati’ pikirku.
***
“Uuuu....Ihhhh”
Aku mendongak tak percaya mendengar
suara itu. Pelan, tapi gendang telingaku cukup jelas menangkap frekuensi suaranya. Wajah itu tersenyum malu,
matanya berbinar seolah mendapat suatu kemenangan. Tangannya bergetar
menyerahkan sebuah buku.
“Ka...mu...bi...sa?” tanyaku jelas dengan
lengkung bibir yang jelas agar dia mengerti dan dijawab anggukan kepalanya
malu-malu. Kemudian dia kembali ke tempat duduknya. Dengan ceria menghampiri
teman sebangkunya dan menempelkan telapak tangannya dengan telapak tangan Aji
temannya.
“Tosssss” teriak Aji, disusul riuh
tawa bersahabat dari seluruh penghuni kelas.
Aku tersenyum puas.
Faqih, siswaku. Satu tahun sudah aku sudah membersamainya. Aku coba
yakinkan padanya bahwa dunia selalu indah walau tanpa suara. Dunia akan
mengerti walau tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Kasih sayang kami telah
membuatnya percaya, bahwa ketakutannya hanyalah hambatan yang akan membuat
langkahnya sia-sia. Dia pantas tertawa, dia berhak akan cita-citanya.
Awal tahun ini, mengawali semester genap. Aku berharap aku
bisa memberikan lebih banyak lagi cinta
padanya pun pada murid-muridku yang lain. Tahun kemarin begitu manis. Aku
memperoleh energi yang begitu penuh. Energi cinta kasih yang terangkai tulus
yang membuahkan kenangan yang begitu indah dan berarti.
Ditulis ulang oleh Vie
Cicurug, 02 April 2020
Aku merindukannya. Dia guruku. Yang mengajarkanku arti sebuah keikhlasan.
Tak terasa, nampaknya aku telah membendung aliran sungai di dasar pipiku. Pikirku terbang saat membaca rangkaian kata-kata yang tertera. Teringat dia yang sering di suatu ketika tak dapat tertawa. Karena rupanya aku, yang berperan sebagai kakak seringkali menghiraukannya.
BalasHapusPada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.
BalasHapusPada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.
BalasHapushttp://cerpenmu.com/cerpen-pendidikan/perjuangan-belum-usai.html
BalasHapusSayangilah selagi masih ada kesempatan. Kelak perpisahan akan begitu menyakitkan 🙂
BalasHapus