header Diary Jingga

Cermin Hati

5 komentar


            Suara riuh tepuk tangan itu membuat mata berkaca-kaca saat namaku disebut. Seakan semua mata tertuju padaku. Gegap gempita ratusan orang seakan sedang melayangkan tubuhku ke udara, apalagi orang nomor satu itu menyerahkan langsung penghargaan padaku . Ahhh ku buang segala jumawa,  semua ini bukan karena aku hebat tapi karena ada dia yang hadir dalam hidupku. Airmataku tak terasa menetes karena bahagia. Dia yang mengajarkanku tentang bagaimana cara memaknai hati, tidak ada di sini. Namun, selayaknya penghargaan ini untuknya.
            Aku mendapatkan penghargaan atas karya tulisku tentang pengalaman mengajar menangani anak berkebutuhan khusus. Tentang dia yang mengajarkanku arti mencintai.  Mencintai tanpa mengharap budi. Aku seorang guru, sejak awal pertemuanku dengannya aku sudah ‘jatuh cinta’.

***

Ingatanku menerawang jauh menyusuri sinopsis syaraf menuju memori otakku menyusup pada kejadian yang tak akan pernah ku lupa. Tahun itu, aku merasa Tuhan telah mengirimkan satu malaikat kecil padaku. Seorang siswa dengan hambatan pendengaran sekaligus hambatan bicara hadir diantaraku, melalui dia aku belajar tentang ketulusan hati. Segalanya begitu manis dalam ingatan dan  berbalas hal yang sangat luar biasa kali ini. Dengan segenap kemampuan dan keterbatasan ilmu aku beranikan diri untuk menerima dia sebagai siswa di kelasku, di antara murid-murid lain yang normal.
            Aku memulainya dengan hati,  kemudian pergolakan itu  dimulai.  Aku mulai terkuras emosi saat bersitatap pertama kali dengannya. Kebingungan,  ketidakberdayaan dan ketakutan terpancar dimatanya. Dia tidak percaya pada teman-temannya pun padaku. Segenap rasanya hanya bisa ia ungkapkan lewat tatap, karena dia tak bisa menceritakannya. Siapa yang akan mengerti bahasanya dan bagaimana dia bisa mendengar jawaban oranglain. Aku di buat memutar otak.
            Senyumku mewakili perasaan hati ini. Hari itu aku menatapnya penuh kasih sayang. Aku harap dia mengerti bahwa semua akan baik-baik saja. Dia mendongak tak percaya. Aku kembali tersenyum dan mengusap bahunya.
            “ Ini teman kalian”
Saat pertama kali aku perkenalkan dia di kelasku, aku memegang bahunya. Dia menolak,  memilih lari dan duduk di kursi pojok ruang kelas. Kelas mulai riuh oleh berbagai komentar dan pertanyaan yang ditujukan padaku.
            “Murid baru yaa, Buu?”
            “Kok ga mau kenalan sihh, Buu” susul yang lain
            “Kami kan ingin tahu namanya” Arya, si ketua kelas ikut berkomentar
“Namanya Faqih” jawabku
            “Anggaplah ini adik kalian, dia sedikit berbeda dengan kalian. Pendengarannya sedikit terhambat, jadi diapun tidak akan jelas berkata”.
Semua muridku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Kita sepakat bukan, kalau kelas kita adalah keluarga?” tanyaku melanjutkan
            “Yaaahhhh buuuuu” jawab mereka serempak.
Kulihat dia semakin kebingungan, mungkin yang terdengar baginya hanya gaung yang tak bermakna.
            “Maka berbaik hatilah pada adik kalian, bantu dia menyelesaikan tugas yang menurut kalian mudah, mungkin tidak bagi dia” lanjutku
“Ibu akan bertindak tegas siapa saja yang saling mengejek padanya atau pada siapapun juga. Karena saudara itu mencinta bukan mencela. Mengerti Nak”
            “Mengerti Buuuuu.....” jawab siswaku kompak, kecuali dia tentunya.
            Aku melemparkan senyum padanya diikuti oleh murid-muridku. Dia belum tersenyum tapi matanya mulai berbinar. Garis bibirnya samar membentuk lengkung kelegaan.
‘Yah, semua akan baik-baik saja’ batinku, semoga pesanku sampai padanya.
            Demi melihat binar mata itu,  jika tidak malu di depan anak- anak, aku mungkin sudah melompat kegirangan.
‘Satu tahap sudah terlewati’  pikirku.

***

            “Uuuu....Ihhhh”
            Aku mendongak tak percaya mendengar suara itu. Pelan, tapi gendang telingaku cukup jelas menangkap  frekuensi suaranya. Wajah itu tersenyum malu, matanya berbinar seolah mendapat suatu kemenangan. Tangannya bergetar menyerahkan sebuah buku.
            “Ka...mu...bi...sa?” tanyaku jelas dengan lengkung bibir yang jelas agar dia mengerti dan dijawab anggukan kepalanya malu-malu. Kemudian dia kembali ke tempat duduknya. Dengan ceria menghampiri teman sebangkunya dan menempelkan telapak tangannya dengan telapak tangan Aji temannya.
            “Tosssss” teriak Aji, disusul riuh tawa bersahabat dari seluruh penghuni kelas.
            Aku tersenyum puas.
            Faqih, siswaku. Satu tahun  sudah aku sudah membersamainya. Aku coba yakinkan padanya bahwa dunia selalu indah walau tanpa suara. Dunia akan mengerti walau tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Kasih sayang kami telah membuatnya percaya, bahwa ketakutannya hanyalah hambatan yang akan membuat langkahnya sia-sia. Dia pantas tertawa, dia berhak akan cita-citanya.
            Awal tahun ini,  mengawali semester genap. Aku berharap aku bisa  memberikan lebih banyak lagi cinta padanya pun pada murid-muridku yang lain. Tahun kemarin begitu manis. Aku memperoleh energi yang begitu penuh. Energi cinta kasih yang terangkai tulus yang membuahkan kenangan yang begitu indah dan berarti.

Ditulis ulang oleh Vie

Cicurug, 02 April 2020 
Aku merindukannya. Dia guruku. Yang mengajarkanku arti sebuah keikhlasan. 
Vie
I am a simple woman. Penyuka warna jingga. Seorang Ibu juga seorang pendidik yang menggandrungi dunia kepenulisan. Volunteer di Komunitas Guru Belajar (KGB) Sukabumi dan Komunitas Guru Madrasah Menulis

Related Posts

5 komentar

  1. Tak terasa, nampaknya aku telah membendung aliran sungai di dasar pipiku. Pikirku terbang saat membaca rangkaian kata-kata yang tertera. Teringat dia yang sering di suatu ketika tak dapat tertawa. Karena rupanya aku, yang berperan sebagai kakak seringkali menghiraukannya.

    BalasHapus
  2. Pada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.

    BalasHapus
  3. Pada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu, beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran. Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi.

    BalasHapus
  4. http://cerpenmu.com/cerpen-pendidikan/perjuangan-belum-usai.html

    BalasHapus
  5. Sayangilah selagi masih ada kesempatan. Kelak perpisahan akan begitu menyakitkan 🙂

    BalasHapus

Posting Komentar