Dear Bu Guru,
Bu, kenapa tiba-tiba ibu meminta kami menulis surat. Apa yang Ibu harapkan dari cerita kami. Tak ada yang menarik. Apalagi ceritaku, Bu.
Bu, aku tak bisa bercerita. Ibu paksa sekalipun aku akan tetap bisu. Aku ingat waktu itu ibu bertanya padaku. Kenapa aku tak peduli pada hidupku. Aku hanya membuang muka.
Sering kesiangan, baju lusuh, bolos dan hal lain yang membuat aku dicap anak nakal. Bu, apa benar aku nakal? Aku tak tahu makna kata nakal. Kenapa mata-mata itu memandang benci padaku, Bu?
Apa karena aku kumal? Atau karena aku tidak bisa jajan makanan enak seperti mereka. Apa mereka jijik padaku, Bu? Setiap kudekati mereka pergi. Atau karena aku bau?
Bu, setiap pagi aku harus berjalan kaki menuju ke sekolah. Makanya aku bau. Keringat yang mengering dicampuri bau sengatan matahari.
Bu, setiap pagi pula aku harus memandikan adik dan menyuapinya makan. Lalu aku bisa tenang bersekolah. Bajuku tentu kusut, Bu. Hanya tangan kecil ini yang mencuci tanpa menggosoknya.
Jika adikku sakit aku tak bisa berangkat sekolah, Bu. Kasihan dia kalau ditinggal sendiri. Lalu pada siapa aku harus titipkan surat izin pada Ibu. Rumahku jauh di pedesaan.
Aku tak bisa bercerita padamu, Bu. Aku tak punya waktu. Sepulang sekolah aku harus ke pasar untuk menjual kantong plastik. Bergulat dengan lapar dan bau busuk di emperan toko. Aku bisa membawa makanan untuk aku dan adikku jika satu lusin kantong terjual.
Malam ini aku bahagia, Bu. Aku menulis surat ini padamu. Seolah aku sedang mengadu pada emak yang sudah di Surga dan bapak yang mengawasi di jauhnya langit malam.
Bu guru, jangan sebut aku anak nakal.
Posting Komentar
Posting Komentar