header Diary Jingga

Balas Dendam dari Kegagalan (part 1)

6 komentar

Desain by Canva

Part 1

Bapak, Jahat! 

Saat itu 1999, tahun di mana kelulusanku akan diumumkan dari SMP. Hasil NEM (nilai ebtanas murni) akan keluar. Dibanding sahabatku, aku memang tidak seberuntung dia yang selalu mendapat rangking pertama atau kedua. Di SMP prestasiku menurun, hanya bertahan di lima besar saja. Tidak seperti waktu SD yang kejar-kejaran dengan sahabatku Sely di peringkat satu dan dua. 

Akhir tahun pelajaran di kelas tiga aku berusaha maksimal belajar. Cita-citaku bulat akan melanjutkan sekolah di SMA favorit di Kota Sukabumi bersama sahabatku. Untuk dapat meraihnya aku harus memiliki NEM yang tinggi. Aku harus dan akan meraihnya itu tekadku. 

Ilustrasi : korankaltara.com

Sampai waktu itu tiba. Bahagia tak terkira saat kulihat nilai ujianku sangat memuaskan. Hanya berbeda digit koma dengannya. Betapa kami sangat berbahagia karena akan satu sekolah lagi. Berturut-turut dari SD dan sekarang SMA yang sama. 

***

"Bapak..." seruku bahagia "lihat ini, NEMku besar" tergopoh-gopoh Ayahku menghampiri. 

Seulas senyum bangga menghiasi bibirnya. 

"Anak pinter" katanya sembari mengusap kepalaku. 

"Pak, aku jadi ya daftar ke SMANSA?" tanyaku antusias. Beliau mengerutkan kening 

"Sudah makan dulu sana, Bapak tadi bikin sambal goreng kesukaanmu" aku menurut, lalu pergi ke arah dapur.

Aku hanya tinggal sama Bapak. Ibu bekerja jadi TKW di Arab Saudi. Bungsu dari  dua saudara perempuan. Kakak perempuan tertuaku saat ini bekerja juga di Malaysia. Sedangkan kakak kedua jadi karyawan sebuah pabrik di Bekasi. Aku paling dekat dengan Bapak. 

"Sini, Bapak mau bicara" katanya selepas sholat Isya. Aku patuh, lalu duduk dihadapannya. 

"Bapak, tidak izinkan kamu sekolah ke kota" katanya to the point walau tetap lembut

"Kenapa, Pak? nilaiku cukup bahkan lebih untuk syarat masuk ke sana" tanyaku sedih.

"Bapak khawatir kalau kamu sekolah di kota pergaulanmu tidak terjaga. Malah nanti sering nongkrong, karena sekolahmu lewatin Ramayana" bapak menyebut salah satu pusat perbelanjaan yang sedang ramai saat itu.

"Yaa Allah Pak..." aku tak jadi melanjutkan argumenku. 

Percuma berdebat dengan Bapak. Jika beliau sudah ambil keputusan itu maka harus begitu. Setelahnya aku memilih diam dan lebih banyak di kamar. Bapak tak pernah membujukku. 

Bukan tanpa alasan beliau membuat keputusan seperti itu. Belakangan ini memang ada kakak kelas lelaki yang sekarang sekolah di SMA kota itu sering datang ke rumah. Masih tetangga. Mungkin bapak khawatir aku bukannya sekolah malah nanti pacaran dengan dia. 

***

Seminggu kemudian ibu pulang. Namun itu tak merubah apa pun. Ibu ada di pihak bapak dan percaya betul jika keputusanya adalah yang terbaik.

Aku frustasi, tak semangat ke sekolah saat teman-teman mengabari walikelas akan melanjutkan  ke sekolah pilihan mereka. Aku patuh saja dengan pesan bapak, supaya aku sekolah di SMA kabupaten saja yang jaraknya hanya 500 meter dari rumah. 

Akhirnya di sinilah aku sekarang. Sebuah SMA Negeri di Kabupaten yang jaraknya bisa ku tempuh dengan jalan kaki. Tak ada yang istimewa. Pagi datang kesiangan, siangnya ingin segera pulang. Begitu seterusnya sampai satu tahun. 

Inilah puncaknya. Ibu jengah melihatku tak semangat. Anak perawan bangun siang. Masuk sekolah jam tujuh lewat lima belas menit, jam segitu aku baru berangkat dari rumah. Pulang sekolah tidur siang sampai sore. Boro-boro buka buku, peer dikerjakan ya di sekolah. 

Malamnya aku di sidang. Mama dan bapak sudah siap menerkamku. Kakak keduaku juga sedang libur, ada di rumah. Siap jadi jaksa penuntut umum. 

"Kalau menurutmu, bapakmu ini salah. Bilang salah Bapak di mana? Apa salah seorang ayah ingin menjaga putrinya dari pergaulan bebas?" 

Seperti biasa, bapak selalu langsung pada tujuan. Tak pernah bertele-tele. 

"Tapi aku sudah besar, Pak. Aku ingin menentukan keinginanku sendiri. Aku punya cita-cita dan Bapak bisa percaya padaku" jawabku hati-hati. 

"Tapi kenyataannya sekarang kamu sekolah di sini. Apa tidak bisa kamu hargai jerih payah ibu dulu" kakakku menimpali dengan geram. "Coba pikir, ibu dulu pergi biar kamu bisa sekolah tinggi, nggak seperti teteh yang hanya bisa lulus SMA dan tidak kuliah" lanjutnya. 

"Tapi Teh, sekolah di kota peluangnya tinggi. Kuota untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri besar. Nah, di sini peluangnya kecil. Aku pengen kuliah di negeri, Teh. Aku nggak mau sampai SMA saja." Kataku membela diri. 

"Terus kalau kamu sekolah di sini memangnya peluang untuk kamu kuliah tak ada? Siapa yang menjamin? Sekolah di mana pun jika kamu malas begini, jangan mimpi diterima di perguruan tinggi negeri." Ibu menimpali. 

"Nak, siapa tahu dengan sekolah di sini ada hikmah yang bisa dipetik. Kamu jangan kalah sama ambisi. Justru kalahkan ambisimu dengan kamu membuktikan di mana pun kamu sekolah, kamu akan tetap berprestasi. Tak selalu harus ke sekolah favorit. Justru mungkin di sini kamu bisa dapat kesempatan lulus tanpa tes. Bisa jadi sainganmu di sini sedikit di banding sekolah di kota" bapak ikut berargumen. 

Bijaksana. Namun, tetap rasa kecewaku pada bapak belum hilang sepenuhnya. 

"Mulai sekarang, bapak akan beri kamu tanggung jawab. Usia kamu sekarang tujuh belas tahun. Bapak tak akan melarang lagi atas apa yang kamu kehendaki. Asal positif, bapak akan dukung" 

"Yang bener pak?" tanyaku sumringah. 

"Tunggu dulu, ada tapinya" aku merenggut, merasakan ada firasat kurang baik.

"Kamu harus bisa tanggung jawab atas setiap keputusanmu. Jika sekali saja kamu mencoreng nama baik keluarga. Membuat aib di keluarga kita. Maka, bapak tak akan mengakui kamu sebagai anak lagi dan silahkan pergi dari rumah ini" pelan, tapi bapak sangat serius dengan perkataannya. 

Aku sedikit bergidik, memikirkan hal yang tiba-tiba terlintas di benakku. Mungkin bapak takut aku salah gaul lalu hamil di luar nikah seperti yang terjadi pada tetanggaku yang terpaksa nikah selepas SMP. 

Part ini cukup sekian dulu. 

Pertanyaannya, apakah aku akan lebih baik di tahun kedua sekolah SMA-ku. Akan ada kejutan yang aku terima di part 2 juga bonus kisah inspiratif di dalamnya.



 




Vie
I am a simple woman. Penyuka warna jingga. Seorang Ibu juga seorang pendidik yang menggandrungi dunia kepenulisan. Volunteer di Komunitas Guru Belajar (KGB) Sukabumi dan Komunitas Guru Madrasah Menulis

Related Posts

6 komentar

Posting Komentar