header Diary Jingga

Saat Petir Membawamu Pergi

15 komentar


Wanita yang aku panggil istri itu sudah lama tak lagi bersuara. Suaranya tercekat di kala malam, saat petir menyambar di tengah gemuruh hujan. Masih ku ingat dia terperanjat menjerit memelukku. Aku tak suka wanita cengeng, apalagi menangis. Seperti biasa aku mendorongnya jijik dan membentaknya. 


Hari-hari berikutnya dia benar-benar bisu tak pernah bersuara lagi. Bukan bisu yang sesungguhnya tapi membisukan diri dari keluhan, rengekan bahkan tangisan yang biasa aku dengar di balik bentakanku. Kini raib, bersama kehangatan rumah kami. 


***


Aku Pradipta, laki-laki berumur 30 tahun yang jatuh cinta pada kemandirian Anyelir. Dia salah satu staf keuangan di kantorku. Disiplin, modis, dan pembawaannya sangat tenang. Usia kami terpaut lima tahun. Aku benar-benar jatuh cinta padanya tatkala dia presentasi di depan saat rapat berlangsung, pembawaannya yang smart membuatku jatuh hati. 


Sebulan kemudian aku mulai berani mendekatinya. Saat aku menyatakan perasaanku, dia menolak pacaran. Dia menantangku untuk melamarnya secara langsung. Mendapat tantangannya aku langsung menerima, pantang bagiku mundur dari sebuah tantangan. 


Setengah tahun kemudian kami menikah. Aku memintanya berhenti bekerja dan mengurus bayi kami yang lahir tepat setelah setahun pernikahan. Dia menerima dengan lapang dada, padahal sedianya dia tak berhenti, satu tahap lagi dia akan dipromosikan. 


Sesuai ekspektasi Anyelir istri yang cekatan. Dia mengurus segala keperluanku dengan baik. Rumah tertata rapi. Anak kami sehat. Hanya satu kekurangannya di mataku. Dia manja dan mudah menangis. Heran aku padanya, diomelin sedikit maka matanya akan berkaca-kaca. 


Kebiasaan yang paling menyebalkan adalah dia sering tiba-tiba memeluk atau sekedar gelendotan di bahuku. Aku gak suka, aku seperti melihat dia lemah. Ditambah lagi kalau dia sedang menangis. Bukannya memeluk aku malah akan membentaknya dan meninggalkannya dalam isakan yang akan bertahan bisa sampai 3 jam dia menangis. 


Pernah suatu hari kami boncengan naik motor gedeku. Dia bilang ingin jalan-jalan di taman sore itu. Tak lupa si kecil Meira di dekapannya. Saat belokkan tajam, ada batu yang membuat motorku oleng dan yang lebih menyebalkan Anyelir panik sambil teriak ga jelas. Bukan iba, aku malah sengaja menjatuhkan motorku yang kepalang oleng. 


Dia terjerembab, untungnya karena panik dia refleks loncat. Hal pertama yang dilakukannya adalah melindungi bayinya. Sedang kakinya terjepit jok motor. Bukan menolongnya, aku memilih membetulkan letak motorku. Kesal melihat dia meringis, ku paksa dia untuk bangun masih dengan omelanku. Dia menurut, sambil memegangi kakinya. Anak kami tak apa-apa. Kala itu semakin ku lihat dia menangis semakin ku bentak dia. 


Anyelir Prameswari. Bunga indah itu kini layu. Tak ada senyum, wajahnya berubah datar. Bicara seperlunya saja. Aku hanya melihat senyumnya tak kala dia berbicara dengan putri kami. Selebihnya hanya ada anggukan, gelengan dan di sana atau di sini. 


Tiga tahun berlalu semenjak kejadian petir itu,  aku tak pernah bertanya kenapa dan bagaimana. Bodohnya aku mengira, dia menyesuaikan diri dengan keinginanku. Jadi wanita mandiri, yang tak lagi manja dan tak pernah ku lihat lagi dia menangis. 


Perlahan aku mulai merasa bersalah. Ada yang yang tak beres dengan Anyelirku. Tapi setiap ku tanya, dia bilang baik-baik saja. Sampai badai itu benar-benar terjadi. 


Aku dinas ke luar kota selama dua minggu.  Sudah sejak lama, setiap aku dinas luar dia tak pernah menghubungiku. Dulu, setiap malam dia akan merengek rindu, atau dia menceritakan tentang kelucuan anak kami. Dia akan berhenti merajuk saat ku bentak jangan manja. Tidur sendiri, apa yang ditakutkan. Dia bilang, dia takut hujan, takut petir dan takut sendirian. Yang kulakukan saat itu menutup telepon dan mematikannya. 


Malam terakhir sudah tidak memikirkan pekerjaan, lamunanku jauh ke rumah. Aku mencoba menghubungi nomornya tapi tidak aktif. Malam kedua saat aku meeting dengan klien, telepon darinya berbunyi beberapa kali. Lalu aku matikan teleponnya karena sedang meeting dengan klien penting. 



Saat aku pulang aku mendapati rumah sepi terkunci. Aku buka dengan kunci cadangan. Seluruh lampu padam. Sunyi, tak ada Meira yang biasa menyambutku dengan celotehnya. Aku memanggilnya berkali-kali. Bodoh, sudah jelas dia tak ada. Mungkin dia menginap di rumah ibunya. Aku baru ingat dia takut sendiri, apalagi sekarang musim hujan petir. Besok ku putuskan untuk menjemput mereka pulang. 



Ketukan ketiga di pintu jati berornamen klasik, baru seseorang membuka pintu. Mbok Ijah pembantu ibu mertuaku muncul. 

"Den, Prap. Silahkan masuk, Den" jawab Bi Ijah ramah 

"Aku tak akan lama Bi, mana Anyelir dan Meira" 

"Aden, benar-benar tak diberi tahu?" Bi Ijah bingung

"Tahu apa, Bi?" 

"Dua hari setelah datang ke sini, Non Meira Panas dan kejang. Ibu dan Ndro Putri membawanya ke rumah sakit. Tiga hari kemudian, nyawa non Meira tidak tertolong dia meninggal di rumah sakit karena demam berdarah. Tujuh hari setelah pemakaman, Ibu pamit untuk pulang, bahkan ditemani Ndoro putri, sampai sekarang mereka belum kembali. Memangnya di rumah tidak ada toh, Den?" 


Aku mematung, tak bergeming. Bagai mendengar sebuah lakon kisah sedih hidup orang lain. Tak percaya. 


Dengan sisa tenaga untuk menapak, aku bersimpuh di makam putriku. Bahkan aku tak punya kesempatan untuk melihat anakku tumbuh sampai besar. 


Kembali ke rumah, aku tak menemukan jejak Anyelir. Ku masuki kamar. Tampak lemari pakaiannya telah kosong. Sebuah kertas tersimpan di bawah kotak perhiasan berisi cincin kawin dan satu set perhiasan yang dulu ku beri sebagai mas kawin. 


"Aku pamit pergi dari hidupmu. Aku butuh bahu untuk berbagi beban ini. Karena aku tak akan bisa menangis di hadapanmu. Surat gugatan cerai telah aku ajukan. Kita mungkin akan bertemu di pengadilan tanpa pelukan perpisahan" 






Vie
I am a simple woman. Penyuka warna jingga. Seorang Ibu juga seorang pendidik yang menggandrungi dunia kepenulisan. Volunteer di Komunitas Guru Belajar (KGB) Sukabumi dan Komunitas Guru Madrasah Menulis

Related Posts

15 komentar

  1. Aku pamit pergi dari hidupmu. Aku butuh bahu untuk berbagi beban ini.

    Kalau aku jadi Anyelir aku juga pasti akan melakukan hal yang sama. Keren cerpennya Kak.

    BalasHapus
  2. haduh ujung ceritanya.... suka speechless dengan akhir sad ending

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebiasaan nih aku bikin sad ending lebih dramatis aja gitu hehe biar pesannya dapat

      Hapus
  3. Sedih banget kisahnya Anyelir :(
    Nggak kebayang punya suami yang begitu nyebelinnya. Padahal nggak ada manusia yang sempurna. Takut dan nangis itu wajar. Bisa-bisanya istri nangis malah dibentak-bentak :'(

    BalasHapus
  4. Pingin nangis bacanya. Cerpennya menyentuh.

    BalasHapus
  5. Sedih huhuhu
    I hate farewell, but somehow there's still "good" in "goodbye".
    Kalau jadi Anyelir, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama :")

    BalasHapus
  6. duh..sedihnya, endingnya menarik

    BalasHapus

Posting Komentar